Uang kertas bukan sarana yang tepat untuk investasi jangka panjang


Inflasi adalah faktor yang tingkat ketidak-pastiannya paling sulit untuk diatasi oleh para ekonom maupun perencana keuangan manapun. Coba tanya kakak atau saudara dari teman-teman yang sudah memasuki masa SMP atau SMA saat tahun 1998. Pasti tahu bahwa terjadi inflasi terburuk selama pemerintahan Orde Baru yaitu sebesar 78%. Pada saat itu nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika mencapai angka Rp 16.000 lebih. Kekayaan seluruh rakyat Indonesia waktu itu merosot nilainya sehingga tinggal ¼ dari nilai sebelumnya hanya dalam hitungan hari. Lalu bila kita tarik ke era yang lebih lawas yaitu masa Orde Lama, pernah terjadi inflasi sebesar 650% pada tahun 1965 . Sehingga pemerintah pada masa itu mengambil kebijakan untuk memotong  tiga angka nol-nya. Tapi tiga angka nol tadi kembali lagi dalam 30 tahun kemudian.
Jadi silakan sekarang periksa di dompet teman-teman semua, apakah kamu semua sudah menaruh uang dengan tiga angka nol di dompet atau belum? Kalau belum alamat kamu harus berhati-hati bisa jadi sewaktu-waktu pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan tiga angka nol lagi dan kamu praktis tidak punya apa-apa.
Apakah inflasi atau melemahnya daya beli uang ini hanya terjadi pada rupiah saja? Ooo, tentu tidak. Untuk mata uang yang dianggap paling kuat yaitu Dolar Amerika pun mengalaminya. Ini bisa dilihat dari turunnya daya beli Dolar Amerika terhadap emas yang tinggal 29% dalam 8 tahun terakhir. Yang lebih mengenaskan dalam 40 tahun terakhir daya beli Dolar Amerika terhadap emas tinggal 4% saja!
Oleh karena itu menggunakan uang kertas sebagai sarana investasi bukanlah cara yang CERDAS, mengapa? Karena nilai uang kertas semakin turun dari tahun ke tahun. Misalnya orang tua kita menyisihkan sebagian pendapatannya untuk masa pensiun yang 20-30 tahun lagi. Tapi begitu sudah pensiun eeh ternyata uang yang susah-susah disisihkan dan dikumpulkan hanya bernilai 1/3 dari nilai sebelum pensiun. Jadi bisa dibayangkan bila kita sudah susah-susah menabung atau menyisihkan penghasilan kita untuk investasi masa depan tapi ternyata nilainya makin menurun. Pintar ga tuh?
Contoh konkret masalah ini saya ambil dari tulisan Pak Muhaimin Iqbal salah satu praktisi Dinar & Dirham di Indonesia. Seorang kawan dari Pak M. Iqbal (kita anggap saja Bapak A) yang kecewa berat dengan asuransi pendidikan untuk anaknya yang dibeli pada tahun 1988. Si Bapak A ini bekerja sebagai eksekutif di sebuah perusahaan telekomunikasi. 
Saat itu ketika anaknya baru lahir, Bapak A ini membeli produk asuransi pendidikan senilai Rp 22,5 juta yang akan cair pada saat anaknya masuk perguruan tinggi. Saat itu nilai pertanggungannya sangat besar dan pada tahun-tahun awalnya harus dibayar 20% dari gaji bulanannya.
Tahun 2006 saat anaknya masuk ITB dan perlu membayar Rp 45 juta uang pangkal, dana asuransi yang cair ternyata hanya cukup membayar separuh dari uang pangkal tersebut. Siapa yang salah? Perusahaan asuransi sudah membayar kewajibannya dengan benar, Si Bapak A juga telah konsisten selalu membayar preminya bertahun-tahun dengan benar. Yang salah tidak lain adalah nilai mata uang rupiah yang tidak bisa diandalkan sebagai sarana investasi. Nanti kita akan bahas bagaimana seharusnya Bapak A dan kita semua bertindak untuk asuransi pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar